Sunday, December 25, 2011

(JORDAN) Sebuah Paradoks di Amman



Pertama kali saya menatap ke luar jendela pesawat, kesan pertama yang saya lihat dari negeri yang sedang saya sambangi ini, Yordania, adalah gersang, tandus, panas, seperti umumnya yang terlihat di film-film Arab klasik. Bayangkan saja view yang serupa, lengkap dengan padang pasirnya. Persis. Ini tentu bertolak belakang dengan apa yang dikatakan guide kami di Komite Pendidikan Luar Negeri beberapa saat lalu. Yang saya pikirkan awalnya adalah suasana khas musim gugur, dengan daun-daun yang berguguran dari pohonnya, angin semilir yang tak terlalu dingin, dan rumput-rumput yang sudah nampak kekuningan. Rupanya saya temukan paradoks di sini. Saat saya keluar dari pintu bandara Malikah Al-Alya Amman, langsung saja angin dingin menyergap tubuh. Agak kaget juga.

Tanpa saya duga juga sebelumnya, pihak dari Jam’iyyah Al-Muhafazhah ‘alal Quranil Karim rupanya sudah menunggu kedatangan kami, ditambah beberapa pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di Yordania. Setelah mengambil beberapa foto, kami langsung diantar dengan sebuah mobil dari pihak Jam’iyyah menuju
sebuah restoran untuk ditraktir makan siang.
Betapa hangatnya sambutan di sini. Pihak Jam’iyyah—diwakilkan oleh Syaikh Mahmud Abu Usamah dan Syaikh Anas—langsung mengobrol banyak dengan kami, bagaimana perjalanan kami, berapa jam kami transit di Kuala Lumpur dan Kuwait City, dan ta’aruf lebih banyak dengan rombongan dari Indonesia. Saya, bersama empat orang mahasiswa lain—Bintang Syamsu Purwanda (SEBI), Umar Ahzami Samiun (STIU YAPIDH), Rifqa Azizah (Ma’had Al-Imaraat), dan Salsabila Khotibatunnisa (IPB)—terbang jauh-jauh ke Amman adalah dalam rangka menempuh ujian pengambilan sanad hafalan Alquran, berkat kerjasama antara Komite Pendidikan Luar Negeri dan Jam’iyyah Al-Muhafazhah ‘alal Quranil Karim.

Dalam perjalanan menuju restoran, yang saya lihat di pinggiran jalanan hanyalah tanah tandus, sesekali ada unta, dan bangunan-bangunan yang dibangun dengan bebatuan putih. Hampir seluruh bangunan dan tata kotanya di sini tampak serupa, bahkan nyaris sama, sehingga membuat saya yang memang asing di sini terasa pusing ketika mencoba menghapalkan jalan. Dan akhirnya tak ada yang saya hapal dari jalan-jalan yang saya lalui.

Setelah setengah jam berlalu, kami pun tiba di sebuah math’am (restoran) yang saya duga restoran ini adalah langganan Syaikh Mahmud. Suasananya terasa sangat “Saudi”, sangat pas, lengkap dengan lantunan kaset murattal Syaikh Sa’ad Al-Ghamidy yang masyhur itu. Ketika pelayan datang menyambangi kami, kami nurut saja dengan pilihan menu yang dipilihkan Syaikh Mahmud. “Kullu maa afdhal lakum yaa syaikh”. Sekitar lima belas menit berjalan, makanan pun tiba. Nasi kabsyah dengan daging ayam berbumbu sudah terhidang di hadapan saya. Lagi-lagi di luar dugaan saya. Porsi nasi yang dihidangkan sangat besar buat saya, mungkin bisa untuk 2-3 kali makan. Dan katanya yang disajikan untuk kami adalah setengah porsinya. Bayangkan saja bagaimana porsi orang Arab makan satu porsi. Subhanallah. Lagi-lagi paradoks buat saya yang orang Indonesia, yang makan mungkin paling banyak seperempat porsinya.

Kemudian giliran minuman datang. Minumannya adalah jus limun dengan na’na (daun mint) yang digerus sampai berupa serpihan dedaunan. Agak aneh di mulut, tapi menyegarkan.
Setelah kami mengisi perut, kami langsung diantar ke kantor Jam’iyyah Al-Muhafazhah ‘alal Quranil Karim, tidak jauh dari tempat kami makan. Sepanjang perjalanan, entah sudah berapa jalan tanjakan tinggi yang sudah kami lalui. Amman adalah kota yang berada di dataran tinggi. Semacam Bandung-nya Indonesia lah. Di sini yang kami temui hanyalah jalan naik-turun seperti yang dirasakan di Puncak, tapi yang ini lebih dahsyat lagi.

Apalagi di sepanjang jalan orang-orang menyetir dengan kecepatan tinggi. Membuat saya, orang Indonesia, ketar-ketir karena terbiasa jalan di bawah kecepatan standar.

Setelah menempuh perjalanan sekitar lima menit, kami pun tiba di kantor Jam’iyyah. Di sini kami mendapatkan pengarahan, dan review sedikit tentang organisasi ini. Jam’iyyah Al-Muhafazhah ‘alal Quranil Karim adalah sebuah organisasi sosial keislaman yang aktif dalam pelestarian dan pendidikan Alquran sejak sekitar 20 tahun yang lalu.

Organisasi ini sudah meluluskan ribuan orang dari berbagai jenjang studi. Studi yang disiapkan di sini adalah program belajar baca Alquran, tahsin-tilawah-tajwid Alquran, Tafsir, Qiraah Sab’ah—tujuh macam bacaan yang diriwayatkan tujuh imam—hingga program hapalan Alquran. Cara pengajaran yang diterapkan di sini juga relatif telah dimodernisasi, tentang bagaimana dulu para katatib—para pengajar—mengajar murid-muridnya dengan sebuah tongkat kayu untuk menunjuk apa pun, dan bagaimana pengajaran sekarang yang, salah satu macamnya, adalah pengajaran tafsir Alquran untuk anak-anak dengan ilustrasi gambar. Saya pikir metode mutakhir ini boleh juga, bukannya lebih mudah memahami surat Al-Fiil dengan Ka’bah di sebuah pusat, kemudian datang rombongan gajah yang di atasnya duduk pengendaranya—yang diumpamakan seperti Abrahah—yang datang menyerang Ka’bah Al-Musyarrafah?

Tak hanya itu, lulusan dari Jam’iyyah ini akan mendapatkan sanad, yakni semacam ijazah atau sertifikasi bahwa alumni sudah dilisensi dalam menempuh ilmu Alquran. Lisensi ini merupakan bukti bahwa ilmu yang mereka dapatkan adalah murni mutawatir—turun-temurun—sebagaimana yang didapatkan dari Rasulullah SAW hingga sampai kepada mereka. Setelah mereka mendapatkan sanad, mereka diharapkan mengamalkan ilmu-ilmu mereka ke seluruh penjuru bumi. Subhanallah, betapa mulianya, dan kemuliaan itu sudah ada di hadapan kami. Pihak Jam’iyyah mengharapkan kami pulang dengan ilmu dan mengamalkannya, dan dari orang-orang yang diajari akan mengajarkan ke orang yang lain, begitu seterusnya hingga banyak anak-anak Indonesia yang membaca Alquran yang diawali dari pengabdian kami. Merinding rasanya.

2 comments:

Anonymous said...

subhanallah, semoga ane bisa nyusul.. hehe

Saiful Ammar Al Humaam said...

amiiinnnn...
udah muncul lo ul..

Post a Comment